Deep Impact kita tahu adalah judul sebuah film terkenal yang menceritakan bagaimana sebuah komet/asteroid bisa memunahkan kehidupan di Bumi. Tetapi, Impact from the Deep adalah judul sebuah teori baru yang pada intinya menyatakan bahwa kepunahan masal justru datang dari Bumi sendiri.
Deep Impact (Benturan Komet)
Pada tahun 1980, Walter dan Luis Alvarez, pasangan anak-bapak (anaknya ahli geologi, bapaknya ahli fisika) mengemukakan teori bahwa dinosaurus punah pada Kapur Akhir 65 Ma (million years ago) akibat Bumi dihantam sebuah komet (deep impact). Teori ini kemudian terbukti benar karena banyak bukti fisik di lapangan ditemukan akibat benturan itu : a.l. (1) lapisan iridium ditemukan di mana-mana di seluruh dunia pada lapisan berumur 65 Ma (di Indonesia belum ada yang menelitinya), (2) impact debris, termasuk semua batuan dengan ciri petrografi pressure-shocked tersebar di seputar globe (3) kawah benturan (impact crater) berumur 65 Ma ditemukan terkubur di Semenanjung Yucatan Mexico yang disebut Kawah Chicxulub. Unsur Iridium langka ditemukan di Bumi, tetapi berlimpah di extra-terrestrial bodies seperti meteor, komet, dan asteroid. Berdasarkan lebar kawah Chicxulub, ditaksir komet/asteroid pemusnah kaum dinosaurus itu berdiameter 10 km.
Karena kepunahan di K-T (Kapur-Tersier) boundary itu terbukti benar oleh extra-terrestrial impact, maka setiap periode kepunahan di Bumi selalu dihubungkan dengan hantaman komet/asteroid. David Raup, paleontologist penulis buku Extinctions: Bad Genes or Bad Luck ? (terbit awal 1990an) menyatakan begitu, memang impacts selalu disalahkan sebagai penyebab major extinctions, penyebab lain mungkin ada, tetapi tak dominan. Apakah benar begitu ?
Kepunahan Massal di Bumi
Paling tidak, di dalam 500 juta tahun terakhir ini kita bisa catat telah terjadi lima kali kepunahan massal yang besar: (1) pada 443 Ma (ujung Ordovisium), (2) pada 374 Ma (ujung Devon), (3) pada 251 Ma (ujung Perem), (4) pada 201 Ma (ujung Trias),dan (5) pada 65 Ma (ujung Kapur).
Kepunahan pada 251 Ma (ujung Perem atau ujung Paleozoikum) adalah kepunahan terbesar menghapus 90 % penghuni lautan dan 70 % penghuni daratan bahkan sampai serangga pun. Kepunahan ujung Perem adalah great dying atau the mother of mass extinctions tulis Douglas Erwin di majalah Scientific American edisi Juli 1996. Apakah kepunahan Permian ini juga akibat asteroid impact ? Peter Ward, profesor biology-earth and space sciences dari University of Washington melaporkan penemuan baru tentang kepunahan masal terbesar di ujung Permian ini (Scientific American, Oktober 2006, p. 42-49).
Impact from the Deep (Semburan H2S)
Lima tahun lalu (tulisan ini ditulis oleh Awang Harun Satyana pada tahun 2007 – red), sekelompok ahli geologi dan ahli kimia organik mulai mempelajari kondisi-kondisi lingkungan pada masa-masa kritis dalam sejarah Bumi. Pekerjaan mereka meliputi mengekstraksi residu zat kimia dari lapisan-lapisan berumur tertentu berusaha mencari fosil molekuler kimiawi yang dikenal sebagai biomarker yang ditinggalkan organisme yang telah punah. Karena kuatnya, biomarker ini masih terawetkan di sedimen-sedimen meskipun jazad organismenya telah lenyap meluruh. Biomarker ini merupakan kunci ke pengetahuan kondisi seperti apa yang terjadi di Bumi pada saat kehidupan organisme itu berlangsung. Sampling dan penelitian telah dilakukan pada periode-periode kepunahan massal. Dan para ilmuwan tersebut mendapatkan kejutan bahwa data dari periode-periode mass extinction selain pada periode K-T boundary, selalu menunjukkan kondisi lingkungan bahwa lautan-lautan purba telah beberapa kali berada pada kondisi kandungan oksigen yang sangat rendah (anoxia). Bersamaan dengan kondisi ini ditemukan biomarker dalam jumlah besar berupa green sulfur bacteria yang bisa melakukan fotosintesis. Pada zaman sekarang, bakteri sejenis ditemukan berupa green-purple sulfur bacteria di tempat-tempat dalam laut stagnant seperti Laut Hitam yang mengoksidasi H2S sebagai sumber energinya dan mengubahnya menjadi belerang. Gas H2S adalah gas beracun bagi banyak makhluk hidup. Kelimpahan bakteri ini pada periode-periode kepunahan massal yang seperiode dengan turunnya kandungan oksigen secara ekstrim telah membuka wawasan baru tentang penyebab kepunahan massal.
Para ilmuwan telah tahu bahwa pada setiap periode kepunahan massal level oksigen selalu lebih rendah daripada biasanya. Juga, mereka tahu bahwa banyak volkanisme terjadi pada setiap periode kepunahan massal. Volkanisme adalah teori tandingan asteroid impact bagi kepunahan massal. Volkanisme bisa meningkatkan CO2 di atmosfer, mengurangi kadar oksigen, dan menyebabkan global warming. Tetapi, volkanisme dan berlimpahnya CO2 di atmosfer tak langsung menjelaskan punahnya banyak hewan laut pada ujung Permian juga punahnya tanaman darat, justru tanaman darat akan berlimpah dengan banyaknya CO2. Lalu, apa hubungan antara kelimpahan sulfur bacteria, depleted oxygen, volkanisme yang meningkat, global warming dan kepunahan massal? Adakah kaitan satu dengan yang lainnya, bagaimana?
Kuncinya ternyata ada di biomarker. Biomarker dari oceanic sediments berumur ujung Permian dan juga dari batuan Trias akhir menghasilkan bukti kimia tentang adanya suatu kelimpahan yang luar biasa bakteri pengkonsumsi H2S di lautan-lautan Permian dan ujung Trias. Karena mikroba ini hanya dapat hidup di lingkungan yang bebas oksigen (an-aerob) tetapi tetap membutuhkan cahaya Matahari untuk melakukan fotosintesis, keberadaan bakteri ini di suatu lapisan batuan Permian mengindikasikan bahwa lingkungan laut pada saat itu adalah juga suatu marker yang menunjukkan laut tanpa oksigen tetapi kaya H2S.
Di lautan-lautan sekarang, keterdapatan oksigen dan H2S terjadi dalam keadaan setimbang. H2S terdapat di tempat2 dalam di wilayah yang stagnan. Di kawasan H2S yang beracun ini hidup organisme pencinta H2S tetapi pembenci oksigen. Hal yang unik, karena sirkulasi air, oksigen berdifusi ke bawah, sedangkan H2S berdifusi ke atas, akhirnya lapisan oksigen dan lapisan H2S bertemu di tengah di suatu level yang disebut chemocline yang bisa setimbang, tetapi bisa juga terganggu.Gangguan atas batas chemocline ini bisa berakibat dahsyat dan inilah yang terjadi di ujung Permian yang menyebabkan kepunahan masal yang paling besar dalam episode sejarah Bumi.
Perhitungan oleh dua ahli geologi dari Pennsylvania State University, Lee Kump dan Mike Arthur menunjukkan apabila level oksigen drop di lautan, kondisinya akan sangat menguntungkan bakteri an-aerob dari tempat dalam, yang akan menghasilkan sejumlah besar gas H2S. Dalam perhitungannya, bila konsentrasi H2S laut dalam ini melampaui batas kritis selama periode oceanic anoxia (laut miskin oksigen), maka lapisan chemocline akan mengerucut ke atas (seperti gejala water coning) dan akhirnya semburan gas H2S beracun dari tempat dalam akan masuk ke atmosfer.
Studi Kump dan Arthur menujukkan bahwa pada penghujung Permian telah terjadi toxic H2S gas upwelling yang telah menyebabkan kepunahan di daratan dan lautan. Kemudian, model yang dibangun oleh Pavlov dari University of Arizona menunjukkan bahwa semburan H2S Permian ini telah merobek lapisan ozon Bumi pada Permian sehingga radiasi ultraviolet (UV) yang mematikan menerobos masuk membunuh setiap makhluk hidup di daratan dan lautan. Bukti terhadap model ini datang dari fosil spora berumur ujung Permian di Greenland, yang menunjukkan deformitas (perubahan bentuk) akibat exposure terhadap high level of UV.
Model Kepunahan Massal dari Kump dan Arthur
Kump dan Arthur menghitung bahwa jumlah gas H2S yang memasuki atmosfer di ujung Permian itu 2000 kali lebih banyak daripada yang dierupsikan oleh semua gunungapi2 sekarang. Efek mematikan H2S meningkat seiring naiknya temperatur, bila pada saat yang sama terjadi greenhouse effect dan global warming, maka permusnahan akan semakin efektif.
Urutan model pemusnahan dengan cara ini adalah sebagai berikut: (1) kegiatan volkanik yang meningkat melepaskan CO2 dan metan ke atmosfer, (2) rapid global warming, (3) laut yang menghangat akan mengurangi daya serap oksigen dari atmosfer ke laut, (4) terjadi kekurangan oksigen anoxia di lautan, (5) keadaan anoxia akan mengganggu kesetimbangan chemocline. Chemocline yang semula datar menjadi mengerucut dengan kolom dissolved oxygen berkurang sedangkan dissolved H2S meningkat, terjadi H2S upwellling, (6) green & purple sulfur bacteria berlimpah sementara mahkluk lautan yang bernafas dengan oksigen musnah akibat hilangnya oksigen dan naiknya gas H2S yang beracun, (7) gas H2S yang menyembur membunuh makhluk daratan, (8) gas H2S naik terus ke atmosfer dan akhirnya merobek perisai ozon, (9) radiasi UV menerobos via celah di perisai ozon membunuh kehidupan di Bumi yang masih tersisa, (10) kepunahan masal.
Bagaimana kita sekarang?
Mekanisme pemusnahan kehidupan seperti di Permian dan Triassic telah terjadi, apakah kelak bisa terjadi lagi ? Kepunahan hebat pada ujung Permian terjadi pada saat kadar CO2 di atmosfer telah mencapai sekitar 3000 ppm, kadar CO2 di atmosfer kita sekarang berada pada 385 ppm. Apakah kita tidak perlu takut ? Tunggu dulu, kepunahan pada ujung Triassic terjadi pada saat CO2 di level 1000 ppm, dan CO2 kita sekarang meningkat 2-3 ppm setiap tahun. Bila dihitung secara linier peningkatan itu akan kita temukan bahwa pada tahun 2200 nanti kadar CO2 di atmosfer kita bisa mendekati 900 ppm suatu kondisi yang sangat bisa mendorong keadaan stress anoxia di lautan dan rentetan efek2 mematikan berikutnya seperti ditulis di atas.
Catatan:
Sampai di sini tulisan dari Awang Harun Satyana. Terima kasih kepada Awang Harun Satyana atas izinnya kepada Penulis untuk me-republikasi tulisan ini. Tulisan direpublikasi dengan modifikasi terutama dalam bentuk pemberian judul-judul bab, dan sedikit perbaikan tata tulis.
Bunuh Diri Massal
Kenaikan kandungan gas CO2 di atmosfer Bumi sekarang ini terutama terjadi karena aktifitas manusia. Aktifitas industri yang membakar bahan bakar fosil (minyak bumi, hidrokarbon) serta berbagai aktifitas lainnya dipercaya telah menyebabkan meningkatnya kandungan gas CO2 di atmosfer. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk mengurangi laju pertambahan gas CO2 perlu dilakukan secara signifikan.
Protokol Kyoto merupakan salah satu kesepakatan internasional untuk mengurangi emisi atau pengeluaran gas CO2 dan lima gas rumah kaca lainnya.
Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB:
“Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca – karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC – yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.“
Sementara itu, untuk melindungi lapisan ozon telah ada Protokol Montreal.
Harapan kita adalah semua kesepakatan itu berhasil. Terutama berhasil mengurangi emisi gas CO2 dan melindungi ozon. Karena, peningkatan gas CO2 dan rusaknya ozon dapat berarti bunuh diri massal.
Semoga bermanfaat.
Salam dario Ancol
Wahyu